Ibarat sebuah pisau, ketika kita ingin memanfaatkannya, tentulah kita jangan sampai memegang bagian mata pisaunya. Dengan begitu, jika terluka, kita telah paham bahwa sesungguhnya luka yang terjadi adalah akibat dari kesalahan tempat kita menggenggam. Tentunya kita tidak mesti langsung menyalahkan bahwa kita terluka karena mata pisau tersebut yang tajam.

Contoh ini memberikan kita sebuah pelajaran bahwa tidak lah sesuatu itu harus terjadi karena alasan yang praktis, yaitu karena “pisaunya yang tajam”, tapi lebih kepada kenapa kita “mengenggam mata pisaunya”.

Beberapa waktu belakangan ini pada beberapa tulisan ada sebuah kecenderungan dalam perspektif untuk melihat bahwa guru adalah sosok yang membuat “terlukanya tangan kejujuran”. Sesungguhnya, tidaklah mesti demikian yang terjadi.

Memang realitas seperti itu tidak bisa dinafikan, tapi mengapa kita kurang mencoba untuk melihat dari sudut pandang guru yang melakukan? Guru dengan beberapa pertimbangan tidak mungkin langsung bertujuan pragmatis untuk menaikkan pamor sekolah lewat permberian contekan ujian nasional. Tapi bisa saja ada unsur  kedekatan emosional yang dibangun guru SD (katakana lah begitu) yang selama enam tahun terus terlibat interaksi dan pengenalan yang cukup tinggi sehingga menciptakan kedekatan emosional.

Cukup banyak guru yang sedih jika anak didiknya tidak bisa tersenyum polos ketika menamatkan jenjang pendidikan dasarnya. Berbekal rasa “kasih sayang”, guru bisa saja secara nekat melepaskan “Jubah Kehormatan Guru” hanya untuk mengupayakan anak didiknya lulus sekolah. Meskipun pertimbangan kasih sayang akibat dari kedekatan emosionalnya adalah semu.

Kompleksnya permasalahan ini memunculkan berbagai pertimbangan praktis yang ada dibenak para guru. Misalkan, guru melihat kondisi orang tua anak didik yang serba kekurangan sehingga ijazah sekolah minimal akan membuat dia bisa diterima di tempat kerja. Kemudian harapan orang tua miskin yang ingin melihat anaknya bisa mengubah wajah keluarga.

Berbagai pertimbangan ini tentunya tidak datang begitu saja, tapi juga karena situasi lingkungan sosial yang memang telah di-setting seperti demikian. Sehingga arus pemikiran bermayoritaskan pemikiran-pemikiran praktis kehidupan.

Sedih memang kita melihat kondisi ini, tapi bisa saja kita membuat prediksi bahwa selama sistem kompetisi individu tidak dilihat dari “nilai raport”, tapi dilihat dari kompetensi kepribadian (tanpa mengesampingkan kompetensi intelektual tentunya). Maka, secara otomatis pertimbangan-pertimbangan praktis akan direduksi sedikit demi sedikit. Kita juga patut sedikit lega hati ketika Ujian Nasional tidak lagi jadi pertimbangan utama kelulusan, sehingga bisa meminimalisir tindakan-tindakan mencontek.

Besar harapan kita untuk para guru agar mampu menghasilkan individu-individu yang tidak tertutup mata, pendengaran, dan hatinya terhadap kedzaliman, kemunafikan, ketidakjujuran, dan tindakan-tindakan amoral lainnya. Sehingga implikasinya bagi bangsa kita ke depan adalah cerah dan bermartabat. Semoga para pakar pendidikan tidak hanya meletakkan kesalahan tidak pundak guru saja, tapi juga pada pundak kita semua sebagai bagian dari makrososial.

Fauzan Anwar Sandiah

josephsandiah@rocketmail.com